Kontroversi seputar boleh tidaknya
seorang perempuan menjadi presiden seakan tak ada habisnya. Tapi sekarang
fokusnya tidak seperti beberapa waktu menjelang pemilu dan beberapa saat
sebelum Sidang Umum MPR tahun 1999 lalu yang diwarnai oleh penolakan keras
khususnya dari kalangan parpol-parpol Islam tentang kemungkinan wanita menjadi
presiden. Kini parpol-parpol Islam itu telah “merevisi” pendapatnya. Melalui
berbagai rekayasa konstruktif, mereka mencoba mengesahkan kepemimpinan wanita
dalam konteks negara.
Presiden Partai Keadilan, M. Hidayat
Nurwahid pun mengatakan, “Sejak dulu sesungguhnya umat Islam menerima presiden
wanita asal sesama muslim.” (Media Indonesia 3/3/2001). Bahkan menurut tokoh
PDI-P Soetardjo Soerjoguritno, Amien Rais, Hamzah Haz dan bahkan Ahmad
Soemargono yang sebelumnya dikenal gigih menentang kepemimpinan Megawati, telah
bersumpah mendukung Megawati sebagai presiden Indonesia sampai 2004 (Rakyat
Merdeka, 7/3/2001). Sikap ini didukung oleh Nurcholish Madjid dengan mengatakan
bahwa sebagian besar ulama tidak mempersoalkan naiknya wanita sebagai Pemimpin.
Hanya sebagian kecil dari mereka yang melarang wanita menjadi Pemimpin.
Sementara itu, KH Salahuddin Wahid, dalam sebuah dialog yang diselenggarakan di
Mesjid Universitas Indonesia, pada 13/7/2001, menyatakan, hendaknya umat Islam
Indonesia bisa menerima kehadiran Megawati sebagai kepala negara. Sebab,
penolakan Islam terhadap kepemimpinan perempuan bukanlah harga mati.
Rekayasa konstruktif untuk
mengegolkan ide keabsahan kepemimpinan perempuan dalam entitas negara ini juga
terlihat dalam seminar sehari yang diselenggarakan di komisi VII DPR pada
tanggal 4/7/2001. Seminar yang menghadirkan Nazaruddin Umar dan KH. Husein
Mohamad itu bertujuan memberikan legitimasi syari’ah terhadap keabsahan
kepemimpinan wanita dalam konteks negara. Meskipun demikian, seminar itu lebih
tepat disebut sebagai rekayasa untuk mencairkan hambatan-hambatan teologis yang
kerap kali berujung pada pemerkosaan nash-nash agama dengan
kepentingan-kepentingan politik.
Terlepas dari fakta-fakta konkrit
di atas, benarkah Islam, sebagaimana yang kini dikatakan oleh
parpol-parpol Islam dan para intelektual muslim, tidak lagi mempersoalkan
apakah wanita boleh atau tidak menjadi presiden?
Hak dan Kewajiban Yang Diberikan
Islam Kepada Lelaki dan Perempuan
Sebelum membahas permasalahan kepemimpinan
wanita dalam Islam, dalam konteks kepemimpinan negara, terlebih dahulu akan
dibicarakan pembahasan yang lebih mendasar dan karenanya sangat penting, yakni
sejauh mana Islam memberikan berbagai hak dan kewajiban kepada laki-laki dan
perempuan.
Dengan melakukan kajian komprehensif
(istiqra`) terhadap nash-nash syara’ yang berhubungan hak dan kewajiban yang
diberikan Islam kepada laki-laki dan perempuan, akan didapatkan kesimpulan
berikut. Bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang
diberikan Islam kepada laki-laki, demikian pula Islam telah memikulkan
kewajiban kepada perempuan seperti yang dipikulkan Islam kepada laki-laki,
kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk perempuan, atau yang
dikhususkan Islam untuk laki-laki, berdasarkan dalil-dalil syar’i. (Taqiyuddin
An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, halaman 253)
Kesimpulan ini bila dirinci mengandung 3 (tiga) butir pemikiran :
Pertama, bahwa Islam pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban yang
sama kepada laki-laki dan perempuan.
Kedua, bahwa terdapat pengkhususan hak atau kewajiban kepada
perempuan saja, atau laki-laki saja.
Ketiga, pengkhususan ini harus berdasarkan nash-nash syariat dari
Al Qur`an dan As Sunnah.
Kesimpulan ini didasarkan pada fakta
dari nash-nash syara’ dalam Al Qur`an dan Al Hadits, bahwa Allah SWT telah
berbicara kepada para hamba-Nya dalam kedudukannya sebagai manusia, tanpa
melihat apakah dia laki-laki atau perempuan.
Firman Allah SWT :
“Katakanlah,’Hai manusia
sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua.” (QS Al A’raaf :
158)
“Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu.” (QS An Nisaa` : 1)
Nash-nash seperti ini berbicara
kepada manusia secara umum tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan.
Karena itulah, Syariat Islam datang kepada manusia, bukan datang kepada
laki-laki dalam sifatnya sebagai laki-laki atau kepada perempuan dalam sifatnya
sebagai perempuan. Jadi taklif-taklif syar’i dalam Syariat Islam tiada lain
hanyalah dibebankan kepada manusia. Begitu pula berbagai hak dan kewajiban yang
terdapat dalam Syariat Islam tiada lain adalah hak bagi manusia dan kewajiban
atas manusia.
Keumuman dalam khithab Asy Syari’
(seruan/pembicaraan Allah) ini tetap dalam keumumannya dalam Syariat Islam
secara keseluruhan, demikian pula hukum-hukum yang terkandung dalam Syariat
Islam tetap dalam keumumannya, selama tidak terdapat hukum khusus untuk
perempuan yang didasarkan pada nash syara’, atau hukum khusus untuk laki-laki
yang didasarkan pada nash syara’. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Al ‘aam
yabqa ‘ala ‘umumihi ma lam yarid dalil at takhshish.
“Lafazh umum tetap dalam
keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.” (Muhammad Husain
Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqih, halaman 318)
Jadi jika terdapat nash syara’ yang
mengkhususkan keumuman ini, maka pada saat itulah perempuan dikhususkan dengan
hukum khusus untuknya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh nash syara’,
demikian pula pada saat itulah laki-laki dikhususkan dengan hukum khusus
untuknya seperti yang telah dijelaskan oleh nash syara’. Namun hukum-hukum lain
yang tidak dikhususkan tetaplah dalam keumumannya, tanpa mempertimbangkan lagi
apakah yang dibebani hukum itu laki-laki atau perempuan. Kaidah Ushul Fiqih
menetapkan :
Al ‘aam
ba’da at takhshish hujjatun fi al baqi
“Lafazh umum yang telah
dikhususkan tetap berlaku sebagai hujjah (dalil) bagi hukum-hukum sisanya (yang
tidak dikhususkan).” (Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah,
halaman 43)
Dengan demikian, pengkhususan
(takhshish) hukum untuk laki-laki atau perempuan dengan hukum-hukum tertentu
merupakan perkecualian dari prinsip umum Syariat Islam. Jadi Syariat Islam
tetap dalam keumumannya dan pengecualian (istitsna`) dari keumumannya ini harus
berhenti pada batas yang ada dalam nash syara’, tidak boleh melampauinya.
Hukum-hukum yang dikhususkan untuk perempuan, bukan untuk laki-laki, misalnya
keharusan meninggalkan sholat dan berbuka pada puasa Ramadhan jika perempuan
sedang haid. Contoh lainnya, kesaksian satu orang wanita adalah cukup dan dapat
berlaku untuk perkara-perkara yang pada umumnya tidak dapat diketahui kecuali
oleh perempuan, misalnya perkara keperawanan. Hukum-hukum ini adalah khusus
untuk perempuan karena terdapat nash-nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini
untuk perempuan, bukan laki-laki. Selain itu ada pula hukum-hukum yang
dikhususkan untuk laki-laki, misalnya kekuasaan atau pemerintahan, yakni
maksudnya tidak dibenarkan duduk dalam kekuasaan kecuali laki-laki. Ini adalah
hukum khusus untuk laki-laki karena terdapat nash syara’ yang mengkhususkan
hukum ini untuk laki-laki, bukan perempuan.
Namun demikian, pengkhususan yang
ada haruslah hanya pada perkara yang dijelaskan oleh nash syara’, tidak boleh
melampaui batas yang telah digariskan nash syara’ da;am Al Qur`an dan As
Sunnah. Misalnya, masalah pengkhususan kekuasaan bagi laki-laki saja, hanya
berlaku untuk konteks kekuasaan.
Jadi yang tidak dibolehkan bagi
perempuan hanya menjadi pemimpin dalam konteks kekuasaaan, tidak mencakup yang
lain-lain di luar kekuasaan seperti peradilan (qadha`) dan kepemimpinan aspek
lainnya yang bukan pemerintahan.
Berdasarkan ini, maka sebenarnya
dalam Islam tidak ada yang dinamakan hak-hak perempuan atau hak-hak laki-laki.
Begitu pula dalam Islam tidak ada apa yang dinamakan kewajiban perempuan dan
kewajiban laki-laki. Yang ada dalam Islam tiada lain adalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, tidak melihat
lagi apakah dia laki-laki atau perempuan. Syariat Islam datang untuk manusia
pada tiap-tiap hukumnya, kemudian sebagian daripadanya dikhususkan untuk
perempuan dalam kedudukanya sebagai perempuan dengan nash khusus, sebagaimana
sebagiannya dikhususkan untuk laki-laki dalam kedudukannya sebagai laki-laki
dengan nash khusus.
Maka dari itu, berdasarkan keumuman
Syariat Islam dan keumuman tiap-tiap hukum dalam Syariat Islam, maka perempuan
berhak beraktivitas dalam aspek perdagangan, pertanian, dan perindustrian
sebagaimana laki-laki, sebab Syariat Islam telah datang dalam seruan yang
bersifat umum untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak
pula menjalankan seluruh tasharrufat qauliyah, yakni melaksanakan berbagai
akad-akad dan muamalah sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki
maupun perempuan. Perempuan berhak pula memiliki satu sebab di antara
sebab-sebab kepemilikan harta dan berhak pula untuk mengembangkan hartanya
dengan cara syar’i apa pun baik dia kerjakan sendiri maupun dikerjakan orang
lain, sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun
perempuan. Demikian pula perempuan berhak pula melakukan kegiatan pendidikan,
berjihad, melakukan kegiatan politik seperti bergabung dengan sebuah partai
politik, serta melakukan segala aktivitas dalam segala aspek kehidupan
sebagaimana laki-laki, sebab Syariat adalah untuk manusia, baik laki-laki
maupun perempuan.
(Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah
Ad Dustur, halaman 255-257)
Kesimpulan
Hak dan kewajiban yang diberikan Islam kepada Seorang perempuan,
Bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam
kepada laki-laki, demikian pula Islam telah memikulkan kewajiban kepada
perempuan seperti yang dipikulkan Islam kepada laki-laki, kecuali hak atau
kewajiban yang dikhususkan Islam untuk perempuan, atau yang dikhususkan Islam
untuk laki-laki, berdasarkan dalil-dalil syar’i. (Taqiyuddin An Nabhani,
Muqaddimah Ad Dustur, halaman 253)
Kesimpulan ini bila dirinci mengandung 3 (tiga) butir pemikiran :
- bahwa Islam pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban yang
sama kepada laki-laki dan perempuan.
- bahwa terdapat pengkhususan hak atau kewajiban kepada perempuan
saja, atau laki-laki saja.
- pengkhususan ini harus berdasarkan nash-nash syariat dari Al
Qur`an dan As Sunnah.
Kesimpulan ini didasarkan pada fakta dari nash-nash syara’ dalam Al Qur`an dan
Al Hadits, bahwa Allah SWT telah berbicara kepada para hamba-Nya dalam
kedudukannya sebagai manusia, tanpa melihat apakah dia laki-laki atau
perempuan.
Misalnya firman Allah SWT :
“Katakanlah,’Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu
semua.” (QS Al A’raaf : 158)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu.” (QS An Nisaa` :
1)
Nash-nash
seperti ini berbicara kepada manusia secara umum tanpa melihat apakah dia
laki-laki atau perempuan. Karena itulah, Syariat Islam datang kepada manusia,
bukan datang kepada laki-laki dalam sifatnya sebagai laki-laki atau kepada
perempuan dalam sifatnya sebagai perempuan. Jadi taklif-taklif syar’i dalam
Syariat Islam tiada lain hanyalah dibebankan kepada manusia. Begitu pula
berbagai hak dan kewajiban yang terdapat dalam Syariat Islam tiada lain adalah
hak bagi manusia dan kewajiban atas Manusia
Haramnya
wanita menduduki tampuk kekuasaan negara, bukanlah perkara khilafiyah.
Dalil-dalil sharih telah menunjukkan hal itu. Sudah seharusnya kaum muslim
kembali pada keputusan Allah SWT tanpa perasaan ragu maupun perasaan ‘sempit’
dan pasrah dengan sepenuhnya pasrah. Sikap yang seperti itulah yang dijelaskan
oleh Allah SWT dalam surah al-Nisa’ ayat 65.
Maka
sikap membangkang terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya adalah merupakan
tindak kemaksiyatan yang paling besar. Apalagi, kalau sikap tersebut diikuti
dengan tindakan pemerkosaan dan pemaksaan terhadap nash-nash qath’iy agar
sejalan dengan kepentingan politik dan hawa nafsu manusia. Sungguh, hanya
kembali kepada syari’at Allah dengan menegakkan negara Khilafah Islamiyyah-lah,
kaum muslim akan selamat serta seluruh problem kaum muslimin dapat dipecahkan
dengan sahih. [Muhammad Shiddiq Al Jawi]
Kepemimpinan Wanita Sebagai Kepala Negara
Dalam pembahasan ini ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi
kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah individu perempuan dalam
perannya sebagai pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah sistem pemerintahan.
Kedua hal itu harus dipahami sebagai satu kesatuan, bukan terpisah, sehingga
jika dikatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi presiden, bukan
otomatis dipahami bahwa kalau laki-laki dibolehkan. Dalam sistem pemerintahan
sekuler sekarang ini, baik laki-laki maupun perempuan, adalah tidak dibenarkan
menjadi presiden, sebab sistem pemerintahan dalam Islam adalah Khilafah, bukan
republik, kerajaan, atau sistem pemerintahan sekuler lainnya.
- Sistem Pemerintahan Islam adalah Khilafah, bukan Republik
Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah Islamiyyah, bukan sistem
republik, kerajaan, federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:
“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi.
Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain.
Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak
khalifah… (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim).
Ijma Shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam
Islam adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem
Khilafah Islamiyyah, bukanlah sistem pemerintahan Islam. Haram bagi kaum muslim
untuk mengadopsi ataupun terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Semisal
menjadi presiden, kaisar, ataupun raja.
Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menggugurkan pendapat bolehnya wanita
menjadi presiden. Bahkan bukan hanya wanita saja, laki-laki pun haram menjadi
presiden, raja, ataupun kaisar. Sebab, sistem-sistem tersebut, bukanlah sistem
kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah saw. Sistem tersebut merupakan sistem
kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan dengan Islam. Perkara ini
adalah perkara qath’iy (pasti); terang-benderang, seterang matahari di tengah
hari!. Perdebatan yang berlarut-larut tentang absah atau tidaknya Megawati
memegang tampuk kepresidenan, sebenarnya merupakan perdebatan tak bermutu;
disamping akan melupakan persoalan dasarnya; yakni sah atau tidaknya-menurut
Islamsistem kenegaraan yang melingkupinya. Selama sistem yang diterapkan adalah
sistem republik, keterlibatan kaum muslimin dalam sistem ini -dalam hal
kekuasaan, dan penetapan policy-adalah haram. Walhasil, jangankan Megawati, Gus
Dur yang konon kyai haji pun haram menjadi presiden.
2. Islam Mengharamkan Kepemimpinan Perempuan Dalam Negara
Seluruh ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan. Jadi
masalah haramnya perempuan menjadi pemimpin negara bukanlah masalah khilafiyah.
Imam Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-Jaami’ li Ahkam Al-Quran, Juz
I. hal. 270, menyatakan bahwa :
“Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat
bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih
tentang bolehnya wanita menjadi qadhi berdasarkan diterimanya kesaksian wanita
dalam pengadilan”.
Argumentasi paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk
kekuasaan adalah, sabda Rasulullah saw:
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada
wanita”. (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Abu Bakrah ra)
Hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar hadits yang mempersoalkan
kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah (pemahaman makna); dalalah hadits ini
menunjukkan dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara. Meski
dalam bentuk ikhbar -dilihat dari sighatnya- hadits ini tidak otomatis
menunjukkan hukum mubah. Sebab, parameter yang digunakan untuk menyimpulkan
apakah sebuah khithab berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram
adalah qarinahnya (indikasi), bukan sighatnya (bentuk kalimatnya).
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia
yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun
hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi
raja, namun kata “qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan makna
umum (‘aam). Artinya kata qaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum
muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan
kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung masyarakat Persia), akan
tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni “qaumun”. Selain itu, tidak ada
satupun riwayat yang mentakhsish hadits ini. Dengan demikian berlaku kaidah,
Al-’aam yabqa fi ‘umuumihi ma lam yarid dalil at-takhsish” (Lafadz umum tetap
dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya).
Sedangkan
latar belakang (sababul wurud) turunnya hadits ini tidak pula bisa digunakan
dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya). Sebab, lafadz hadits ini dalam
bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’. Karena
latar belakang bukanlah hadits Nabi. Oleh karena itu latar belakang sabda Nabi
di atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukum. Oleh karena itu
latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil.
Maka berlaku kaidah bahasa yang masyhur dalam ilmu usul fiqh, “Al-’Ibrah bi
‘umum al-lafzhi la bi khususi as-sabab,” (pengertian diambil dari umumnya
lafadz bukan khususnya sebab).
Adapun hukum yang terkandung di dalamnya pembahasannya sebagai berikut. Meski,
hadits ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun di dalam lafadz hadits
itu ada qarinah yang menunjukkan keharamannya secara pasti.. Pertama, harf lan
(harf nahy li al-mustaqbal au li al-ta’bid), huruf larangan untuk masa
mendatang jadi maksudnya adalah tidak akan pernah, dan untuk selamanya. Kedua,
huruf lan ini dihubungkan dengan yufliha (beruntung), lafadz ini menunjukkan
adanya dzam (celaan) dari Rasulullah SAW.
Menjawab Beberapa Keraguan
1. Memang ada sementara kalangan, misalnya Fatima Mernissi seorang feminis
muslim, yang meragukan keabsahan hadits tersebut.
Kendati shahih, mereka
meragukan kredibilitas perawi hadits ini, yakni shahabat Abu Bakrah, sebagai
orang yang kesaksiannya diragukan lantaran didakwa pernah melakukan tuduhan
palsu dalam kasus perzinahan di masa khalifah Umar bin Khattab. Tuduhan ini
ternyata tidak terbukti. Kitab Tahdzibu al-Kamal fi Asma`i al-Rijal, juga
Thabaqat Ibnu Saad dengan tegas menyebut bahwa shahabat Abu Bakrah adalah
shahabat yang alim dan perawi yang terpercaya (tsiqah)
2. Kemudian ada lagi yang mengatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas
wanita secara mutlak hanya ada dalam konteks rumah tangga.
Memang ayat 34
dari surah Annisa, menyebutkan bahwa para lelaki menjadi pemimpin atas
perempuan. Bila ayat ini dimaksudkan sebagai petunjuk tentang kepemimpinan
laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga, maka dengan mafhum muwafaqah,
dalam urusan yang lebih besar, yakni urusan negara, lelaki tentu lebih wajib
lagi menjadi pemimpin.
Imam Az Zamakhsyari dalam tafsir Al Kasysyaf menyebutkan mengenai tafsir surat
An Nisaa ayat 34 tersebut, “yaquumuuna alaihinna aamiriina naahiina kamaa
yaqumu al wulaatu ‘ala ar ra’aaya .” (Kaum laki-laki berfungsi terhadap
isteri-isteri mereka sebagai yang memerintah dan melarang, seperti halnya
pemimpin (wali) berfungsi seperti itu terhadap rakyatnya.)”
3. Argumentasi yang mengatakan bahwa syarat wajibnya pemimpin dari kaum
lelaki hanyalah untuk negara Islam (Khilafah Islamiyah), oleh karena Indonesia
bukan negara Islam syarat tersebut tidak bisa digunakan, tidak bisa diterima.
Mengingat celaan rasul ketika anak perempuan Kisra diangkat menjadi ratu
menggantikan ayahandanya yang meninggal terjadi juga bukan di negara Islam.
Kisra adalah julukan untuk pemimpin tertinggi dalam kekaisaran Persia.
4. Dikatakan bahwa Imam Ibnu Jarir al-Thabari dan sebagian ulama Malikiyah
(pengikut madzhab Imam Malik bin Anas) seperti dilansir oleh Ibnu Hajar
al-Asqalani disebut-sebut membolehkan seorang perempuan menjadi kepala negara.
Sebenarnya tidak, karena yang dimaksud dalam kitab tersebut bukan kebolehan
perempuan menjadi kepala negara tapi menjadi qadhi (hakim). Jelas berbeda
antara qadhi dan kepala negara.
5. Argumen bahwa wanita dalam Islam bisa saja menjadi kepala negara
sebagaimana ditunjukkan pada kisah Syajaratuddur dan ratu Bilqis tidak bisa
diterima.
Memang ratu Syajaratuddur, seorang perempuan dari dinasti Mamalik
pernah berkuasa di Mesir. Tapi kenyataan sejarah ini tidak bisa dijadikan
landasan argumentasi bolehnya seorang perempuan menjadi presiden, karena
landasan syar’iy adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Shahabat dan Qiyas. Lagi
pula Syajaratuddur mendapatkan kekuasaan secara kebetulan. Ia kebetulan adalah
istri dari penguasa Mesir, Malikus Shalih, yang tunduk kepada khalifah
al-Mustansir Billah dari Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Setelah
Malikus Shalih wafat, kekuasaannya diserahkan kepada istrinya Syajaratuddur.
Mendengar hal ini, khalifah al-Mustansir Billah segera mengirim surat
mempersoalkan keadaan di Mesir, apakah tidak ada laki-laki yang bisa menjadi
pemimpin. Bila tidak ada, khalifah akan segera mengirim seorang laki-laki untuk
menggantikan Malikush Shalih memimpin Mesir. Akhirnya, setelah berkuasa selama
tiga bulan, Syajaratuddur digantikan oleh Emir Izzudin yang kemudian
menikahinya.
Demikian juga tentang kisah ratu Bilqis. Kisah yang diabadikan dalam al-Qur’an
tidak bisa dijadikan sebagai landasan syar’iy. Lagi pula, dalam kisah itu, ratu
Bilqis akhirnya juga melepaskan kekuasaanya setelah ditundukkan oleh Nabi
Sulaiman dalam tempo sesingkat-singkatnya. Bahkan akhirnya menjadi istri nabi
yang telah menaklukkannya itu.
Lagi pula, kisah umat sebelum Islam dalam ushul fiqih termasuk dalam Syar’u Man
Qablana (Syariat Umat Sebelum Kita) yang sebenarnya tidak merupakan syariat
bagi kita (umat Islam).Sebab syariat Islam telah menasakh syariat-syariat
sebelum Islam, sesuai firman Allah SWT :
“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Qur`an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan muhaimin (penasakh) terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (QS Al Maaidah :
48)
Dalam hal ini para ulama Asy’ ariyah, Imam Ahmad (dalam satu riwayat), Ibnu
Hazm, sebagian ulama Ahnaf, dan mayoritas mujtahid madzhab Asy Syafi’i (seperti
Al Ghazali, Al Amidi, Ar Razi) berpendapat bahwa syariat umat sebelum kita,
bukanlah syariat bagi kita (Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al
Fiqh, hal. 209)
6. Haramnya kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya dengan
pelanggaran HAM, dan demokrasi.
Haramnya kepemimpinan wanita merupakan
bagian dari aturan Islam. Memang benar, dengan menggunakan sudut pandang HAM
dan demokrasi yang kufur, pelarangan wanita dalam kekuasaan negara bisa
dianggap pelanggaran. Sebab, aturan HAM dan demokrasi memang menetapkan
ketentuan semacam itu. Namun, seorang mukmin sejati, hanya mengambil ketetapan
dari Al-Quran dan Sunnah, walaupun bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Bukan
sebaliknya, yaitu mengambil HAM dan demokrasi walaupun bertentangan dengan
Al-Quran dan Sunnah. Cukuplah Al-Quran dan As Sunnah sebagai dalil bagi kaum
muslim dan dia tidak akan berfikir untuk memilih yang lain. Tentu bagi seorang
muslim yang bertakwa, keridha’an Allah segala-galanya bagi dia. Sikap yang
semacam inilah yang seharusnya dimiliki oleh muslim yang bertakwa. Sebagaimana
firman Allah Ta’ala dalam surah al-Ahzab ayat 36. Maka memilih HAM dan
demokrasi dan mencampakkan Al-Quran dan As Sunnah, merupakan bentuk kesesatan
yang nyata! Bahkan, Allah swt menjelaskan pula kebatilan serangan kafir kaum
feminis yang sok demokratis dengan firman-Nya :
“Dan janganlah kamu iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada
bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa
yang mereka usahakan” (QS An-Nisaa’ [4]:32)
Semoga Bermanfaat