Pengertian demokrasi:
- Secara etimologi, demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata demos(rakyat) dan kratos(pemerintah). Jadi, demokrasi berarti pemerintahan rakyat
- Secara umum, demokrasi adalah system pemerintahan yang melibatkan rakyat dalam berlangsungnya pemerintahan.
- Menurut Abraham Lincoln, demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Ciri-ciri demokrasi:
- Adanya jaminan HAM (pasal 28A-J UUD 1945)
- Adanya jaminan kemerdekaan bagi warga Negara untuk berkumpuldan beroposisi
- Perlakuan dan kedudukan sama bagi seluruh warga negara dalam hukum (pasal 27 ayat 1 UUD)
- Kekuasaan yang dikontrol oleh rakyat melalui perwakilan yang dipilih rakyat
- Jaminan kekuasaan yang telah disepakati bersama
Prinsip-prinsip demokrasi:
- Kekuasaan pemerintah dibatasi oleh konstitusi
- Pemilu yang bebas, jujur, dan adil (agar mendapat wakil rakyat yang sesuai aspirasi rakyat)
- Jaminan Hak Asasi Manusia
- Persamaan kedudukan di depan hukum
- Peradilan yang jujur dan tidak memihak untuk mencapai keadilan
- Kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat
- Kebebasan pers
1. Permasalahan Kemiskinan
Permasalahan pertama
yang dihadapi bangsa ialah kemiskinan. Para ilmuan sosial telah sepakat bahwa
pada hakikatnya tidak ada demokrasi dikalangan orang-orang miskin. Pada
hal, jumlah orang-orang miskin di Indonesia masih besar
jumlahnya. BPS menyebutkan bahwa jumlah orang-orang miskin
terus mengalami penurunan. Statistik kemiskinan 2 Januari 2012 menyebutkan
jumlah orang miskin sekitar 29,89 juta orang (12,36 persen). Sementara
posisi Maret 2011 sebesar 30,02 juta orang (12,49 persen).
Akan tetapi, para pengamat
yang kritis melihat jumlah orang miskin dengan merujuk kepada jumlah panerima
beras miskin (Raskin) yang dikemukakan BPS 2012 sebanyak 17,5 juta keluarga (70
juta orang). Selain itu, ada yang merujuk kepada jumlah kepesertaan
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) 2012 yang diperkirakan sebanyak
19,1 juta keluarga (76,4 juta orang). Sebenarnya untuk menetapkan jumlah
orang miskin sangat ditentukan besar kecilnya batas miskin yang ditetapkan.
Kalau batas miskin menggunakan standar Bank Dunia (World Bank) 2 Dolar Amerika
Serikat, maka pasti jumlah orang miskin masih besar jumlahnya.
Akan tetapi, kalau menggunakan ukuran misalnya 1
dolar Amerika Serikat, maka orang-orang miskin, sudah pasti semakin berkurang
jumlahnya. BPS dalam mengukur jumlah orang miskin, menggunakan angka
garis miskin sebagai batas untuk menentukan miskin atau tidaknya seseorang
adalah sebesar Rp 243.729 perkapita per bulan. Artinya kalau seseorang
berpenghasilan diatas Rp 8.124 per hari per jiwa, dianggap tidak miskin.
Pertanyaannya, UU Pemilu ini apakah juga mengatur pelaksanaan hak-hak demokrasi
orang-orang miskin, sehingga pemilu tidak menjadi ajang pengamalan korupsi
dalam bentuk “sogok atau suap” untuk meraih dukung pemilih orang-orang miskin
dalam pemilu.
2. Permasalahan Budaya
Mayoritas penduduk Indonesia
adalah suku Jawa, dan budaya yang dominan adalah budaya Jawa. Budaya yang ramai
diamalkan orang-orang miskin dalam berdemokrasi adalah budaya warung yang
bercorak transaksional. Artinya, siapa yang membeli barang dan membayar,
dialah yang akan diberi barang. Dalam pengamalan demokrasi, siapa yang memberi
uang dan sembako kepada mereka, dia yang dipilih. Budaya semacam ini dalam
praktik berdemokrasi, telah menciptakan simbiosis mutualistik antara seorang
calon dengan pemilih. Kedua belah pihak mendapatkan manfaat, yaitu calon
legislatif di semua tingkatan, begitu pula calon pemimpin eksekutif di pusat
dan di daerah (kabupaten, kota dan provinsi) yang memerlukan
dukungan suara, dan para pemilih yang memerlukan uang, bertemu dalam satu
kepentingan. Budaya semacam ini, sering juga disebut budaya patron-client,
yaitu kedua belah pihak saling melayani dan saling ketergantungan.
Itu sebabnya dalam pengamalan demokrasi
di Indonesia, sangat ramai diamalkan politik uang (money politic) yang
tidak lain merupakan pengamalan dari budaya warung yang bercirikan
transaksional. Pertanyaan, apakah UU Pemilu sudah mengatur hal tersebut supaya
politik uang tidak semakin merajalela. Persoalan lain yang berkaitan
dengan budaya dan faham agama dalam pengamalan demokrasi, ialah mayoritas
pemilih adalah orang Jawa yang sudah tersebar di seluruh pelosok tanah air.
Masalah ini sangat penting terutama dalam pemilu Presiden/Wakil
Presiden. Kalau budaya yang dominan adalah budaya Jawa, maka
pertanyaannya apakah calon Presiden dari luar Jawa memiliki peluang untuk
terpilih dalam pemilu Presiden/Wakil Presiden?
Jika merujuk hasil dua pemilu
Presiden/Wakil Presiden di era Orde Reformasi, di mana Presiden/Wakil Presiden
di pilih langsung oleh rakyat Indonesia dalam suatu pemilihan umum, dan
berdasarkan hasil penelitian saya di Solo Jawa Tengah, tahun 2004 dan
2006, saya dapat katakan bahwa peluang calon Presiden/Wakil Presden dari
luar Jawa tidak besar. Belum lagi kalau dikaitkan dengan stratifikasi sosial
keagamaan di Indonesia, yang masih mendikhotomikan antara abangan dan santri,
dapat disimpulkan bahwa golongan abangan lebih besar jumlahnya dibanding
santri, yang pada umumnya di Jawa. Masalah tersebut pasti tidak
dirumuskan dalam UU Pemilu. Kita kemukakan hal itu untuk mengingatkan
bahwa bangsa ini menghadapi persoalan besar setelah amandemen UUD 1945
dalam pengamalan demokrasi.
3. Permasalahan Pendidikan
Permasalahan keempat adalah
pendidikan mayoritas bangsa Indonesia yang masih rendah. Sebenarnya, kita
amat berharap setelah ditetapkannya Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 bahwa anggaran
pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah
sekurang-kurangnya dua puluh persen untuk pendidikan. Dalam implementasinya,
dapat dikatakan gagal meningkatkan tingkat pendidikan mayoritas bangsa
Indonesia. Walaupun dipopulerkan “pendidikan gratis,” dalam kenyataan tidak
dapat diikuti oleh orang-orang miskin. Oleh karena yang gratis, hanya
pembayaran sekolah, sementara buku dan alat tulis, pakaian seragam,
sepatu, uang transport, uang makan dan sebagainya harus ditanggung oleh orang
tua, yang mayoritas tidak sanggup.
Setelah berlangsung Orde Reformasi 13 tahun lamanya, seharusnya tingkat
pendidikan bangsa Indonesia mayoritas sudah mendekati SLA. Kenyataannya masih
setingkat SD.4. Permasalahan Kelas menengah
William Liddle pernah
mengatakan bahwa yang dapat menjadi penyokong tegaknya demokrasi
adalah kelas menengah (middle class). Lebih lanjut Liddle
mengemukakan “jika demokrasi mau diamalkan maka kelas menengah harus
kuat.” Dari pandangan Liddle tersebut dapat dikatakan bahwa tidak ada
demokrasi tanpa kelas menengah. Pertanyaannya, sudah berapa besar jumlah kelas
menengah di Indonesia? Kalau kita melihat struktur sosial (social structure)
bangsa Indonesia yang berbentuk piramida sosial, di mana masyarakat bawah
(lower class) sangat besar, dan kelas atas (high class) serta kelas menengah
(middle class) masih kecil jumlahnya, dapat dikatakan bahwa
kelas menengah di Indonesia, belum dapat menjadi penggerak utama (prime mover)
demokrasi.
Akan tetapi, ada perkembangan
yang menggembirakan bahwa berdasarkan data Bank Dunia, pada 2003 jumlah kelas
menengah di Indonesia sekitar 81 juta jiwa atau 37,7 persen. Sedangkan pada
2010 kelompok ini meningkat menjadi 131 juta jiwa atau 56,5 persen. Pada
periode itu setiap tahun sekitar 7 juta jiwa penduduk meningkat dari kelas
penghasilan rendah ke penghasilan menengah. Peningkatan di kelas menengah
didominasi oleh mereka yang berada di tingkat pengeluaran US$2-6 per hari.
Siapa yang disebut kelas
menengah? Bank Dunia mendefinisikan yang disebut kelas menengah adalah penduduk
dengan pengeluaran US$2 hingga US$20. Kelas menengah itu masih dibagi beberapa
bagian yaitu pengeluaran hariannya US$2-4 sebanyak 38,5 persen, pengeluaran
harian US$4-US$6 sebesar 11,7 persen, pengeluaran harian US$6-US$10 sebesar 5
persen, dan pengeluaran US$10-20 sebesar 1,3 persen. UU Pemilu 2012,
dapat dikatakan baru sekedar untuk melayani dan melindungi
kepentingan para elit yang sedang berkuasa di parlemen dan eksekutif dan kelas
menengah (middle class), yang moga-moga semakin mendorong dan mengukuhkan
pengamalan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Kesimpulan
UU Pemilu yang baru disahkan
April 2012, belum bisa banyak diharapkan untuk memperkuat demokrasi di
Indonesia karena bangunan sosial bangsa ini untuk berdemokrasi masih lemah.
Hiruk-pikuk perbincangan masalah UU Pemilu dan upaya sekelompok masyarakat
untuk melakukan uji kesahihan UU Pemilu yang baru khususnya pasal 8 ayat (1)
dan pasal-pasal terkait terhadap Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, lebih terkait kepada kepentingan elit diluar lingkaran kekuasaan,
sementara masyarakat hanya dijadikan alasan pembenaran apa yang dituntut.
Untuk mencegah semakin
merajalelanya politik uang dalam pemilu, hukuman berat bagi yang melakukan
politik uang harus diberlakukan dengan menggugurkan sebagai calon. Selain
itu, anggaran pemilu bagi parpol sebaiknya ditanggung oleh negara. Ini
diperlukan untuk mengurangi tingkat korupsi yang dilakukan kader-kader partai
di legislatif dan eksekutif. Selain itu, kampanye di TV harus adil bagi semua
partai politik, tidak bisa seperti sekarang. Pemilik TV yang mempunyai partai
politik, partai besar dan kecil, harus sama jumlah slot yang ditayangkan dalam
kampanye.
Terakhir, seluruh kader partai politik dan partai
politik, harus melakukan pendidikan politik kepada rakyat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tujuan Demokrasi
Salah
satu tujuan Demokrasi adalah menciptakan kedaulatan negara kepada rakyat yang
bertujuan menciptakan pemerintahan yang legal dan di kehendaki oleh rakyat,
Demokrasi hanya menjamin kebebasan politik yaitu kebebasan mengeluarkanpendapat
dan politik.Tujuan kita berbangsa dan bernegara adalahmenciptakan masyarakat
yang adil dan makmur, sehingga negra ini dapat terpimpin dan tidak ada lagi
perselisihan antar bangsa, karna walaupun berbeda suku namun tetap masih satu
bangsa dan satu negara yaitu negara indonesia, oleh karena itu tujuan
demokrasi tidak lain dalah memberika kebebsa bagi rakyat untuk memilih dan
mengemukakakn pendapatnya dalam bermusyawarah, sehingga sutu keputusan harus di
putuskan secara adil agar tidak ada pihak yang merasa di rugikan , sehingga
Demikrasi dapat berjalan sampai generasi penerus bangsa , Demokrasi sangatlah
penting untuk mencegah terjadinya perselisihan antar bangsa
Latar
Belakang
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga
kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara
yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama
lain. Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan
agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol
berdasarkan prinsip checks and balances.
Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah
lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan
melaksanakan kewenangan eksekutif, lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan judikatif dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat
(DPR, untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasaan
legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif
dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai
aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum
legislatif,
selain sesuai hukum
dan peraturan.
Selain pemilihan umum legislatif, banyak keputusan atau
hasil-hasil penting, misalnya pemilihan presiden suatu negara, diperoleh
melalui pemilihan umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti
oleh seluruh warganegara, namun oleh sebagian warga yang berhak dan secara
sukarela mengikuti pemilihan umum. Sebagai tambahan, tidak semua warga negara
berhak untuk memilih (mempunyai hak pilih).
Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti
hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara
langsung, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau
anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai
negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung
presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat. Walapun
perannya dalam sistem demokrasi tidak besar, suatu pemilihan umum sering
dijuluki pesta demokrasi. Ini adalah akibat cara berpikir lama dari sebagian
masyarakat yang masih terlalu tinggi meletakkan tokoh idola, bukan sistem
pemerintahan yang bagus, sebagai tokoh impian ratu adil. Padahal sebaik apa pun
seorang pemimpin negara, masa hidupnya akan jauh lebih pendek daripada masa
hidup suatu sistem yang sudah teruji mampu membangun negara. Banyak negara
demokrasi hanya memberikan hak pilih kepada warga yang telah melewati umur tertentu,
misalnya umur 18 tahun, dan yang tak memliki catatan kriminal (misal,
narapidana atau bekas narapidana).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar