5 PELANGGARAN HAM DI
INDONESIA
1.
Tragedi Trisakti
Penyebab.
Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang
terpengaruh oleh krisis finansial Asia sepanjang 1997 - 1999. Mahasiswa
pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung
DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti.
Mereka
melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung
Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi mereka dihambat oleh
blokade dari Polri
dan militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa mencoba bernegosiasi dengan
pihak Polri.
Akhirnya,
pada pukul 5.15 sore hari, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak
majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah
mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung
di universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan.
Korban pun berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.
Satuan
pengamanan yang berada di lokasi pada saat itu adalah Brigade
Mobil Kepolisian RI, Batalyon
Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203,
Artileri Pertahanan Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru
Hara Kodam seta Pasukan
Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas
air mata, Styer,
dan SS-1.
Pada
pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang
dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah
menggunakan peluru tajam, hasil otopsi
menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara diprediksi peluru tersebut hasil
pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.
Hak Yang Di Langgar
Salah satu hak yang dilanggar dalam
peristiwa tersebut adalah hak dalam kebebasan menyampaikan pendapat. Hak
menyampaikan pendapat adalah kebebasan bagi setiap warga negara dan salah satu
bentuk dari pelaksanan sistem demokrasi pancasila di Indonesia. Peristiwa ini
menggoreskan sebuah catatan kelam di sejarah bangsa Indonesia dalam hal
pelanggaran pelaksanaan demokrasi pancasila.. Dari awal terjadinya peristiwa
sampai sekarang, pengusutan masalah ini begitu terlunta-lunta. Sampai sekarang,
masalah ini belum dapat terselesaikan secara tuntas karena berbagai macam
kendala. Sebenarnya, beberapa saat setelah peristiwa tersebut terjadi, Komnas
HAM berinisiatif untuk memulai untuk mengusut masalah ini. Komnas HAM
mengeluarkan pernyataan bahwa peristiwa ini adalah pelanggaran HAM yang berat.
Masalah ini pun selanjutnya dilaporkan ke Kejaksaan Agung untuk diselesaikan.
Namun, ternyata sampai sekarang masalah ini belum dapat diselesaikan bahkan
upayanya saja dapat dikatakan belum ada. Belum ada satupun langkah pasti untuk
menyelesaikan masalah ini. Alasan terakhir menyebutkan bahwa syarat kelengkapan
untuk melakukan siding belum terpenuhi sehingga siding tidak dapat
dilaksanakan. Seharusnya jika pemerintah benar-benar menjunjung tinggi HAM,
seharusnya masalah ini harus diselesaikan secara tuntas agar jelas agar segala
penyebab terjadinya peristiwa dapat terungkap sehingga keadilan dapat
ditegakan.
Penyelesaian
Agar masalah ini dapat cepat
diselesaikan, diperlukan partisipasi masyarakat untuk ikut turut serta dalam
proses penuntasan kasus ini. Namun, sampai sekarang yang masih berjuang
hanyalah para keluarga korban dan beberapa aktivis mahasswa yang masih peduli dengan
masalah ini. Seharusnya masyarakat dan mahasiswa tidak tinggal diam karena
pengusutan kasus ini yang belum sepenuhnya selesai. Walaupun sulit untuk
menuntaskan kasus tersebut secara sepenuhnya, tetapi jika masyarakat dan
mahasiswa ingin bekerjasama dengan pihak terkait seharusnya masalah bisa
diselesaikan, dengan catatan stakeholder yang bersangkutan harus jujur dalam
memberikan informasi.
Di luar itu semua, ada hal lain yang
sebenarnya bisa diambil oleh masyarakat dan mahasiswa dalam peristiwa tersebut,
yaitu semangat melawan pemerintahan yang tidak adil dan tidak sesuai dengan
kehendak rakyat. Walaupun bisa dibilang bahwa Indonesia dari tahun ke tahun
terus membaik dan berkembang dari segi pembangunan, tetapi tetap banyak masalah
yang sebenarnya bisa terlihat jika kita berbicara dari tentang pemerintahan.
Beberapa contoh masalah-masalah pemerintahan yang ada, yaitu korupsi, perebutan
kekuasaan untuk kepentingan golongan, berbagai praktik kecurangan dalam menapai
kekuasaan, dan masalah lainnya. Dari masalah-masalah tersebut, seharusnya
masyarakat dan mahasiswa banyak mengambil peran dalam pengarahan dan evaluasi
kepemimpinan. Untuk peran mahasiswa tak dapat dipungkiri akan semakin besar
karena di pundak mereka ada sebuah beban tanggung jawab dimana para mahasiswa
dituntut harus membentuk pemimpin-pemimpin yang cakap untuk mengelola Indonesia
yang lebih baik di masa depan. Agar peristiwa ini tak kembali terulang, Hak
kebebasan berpendapat setiap warga negara benar-benar harus ditegakan.
2. Marsinah
Penyebab
Marsinah
adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif dalam aksi
unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara
lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei
1993 di Tanggul Angin Sidoarjo. 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya
bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi
buruh. 4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan,
termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi
Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima,
termasuk oleh buruh yang absen.Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih
aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan
perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang
perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari
tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa
digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka
dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap
dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim
Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil
pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap.Mulai tanggal
6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya
ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Hak Yang Di Langgar
Kasus
pembunuhan Marsinah merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Alasannya adalah karena telah melanggar hak hidup seorang manusia. Dan juga karena
sudah melanggar dari unsur penyiksaan dan pembunuhan sewenang-wenang di
luar putusan pengadilan terpenuhi. Dengan demikian, kasus tersebut tergolong
patut dianggap kejahatan kemanusiaan yang diakui oleh peraturan hukum Indonesia
sebagai pelanggaran HAM berat.
Jika merujuk pada Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), jelas bahwa tindakan pembunuhan merupakan
upaya berlebihan dalam menyikapi tuntutan marsinah dan kawan-kawan buruh. Jelas
bahwa tindakan oknum pembunuh melanggar hak konstitusional Marsinah,
khususnya hak untuk menuntut upah sepatutnya. Hak tersebut secara tersurat dan
tersirat ditegaskan dalam Pasal 28D ayat (2) UUD NRI tahun 1945, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja
serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja.
Penyelesaian
Hak Asasi setiap manusia harus
dihargai oleh manusia yang lain yang dalam kasus ini adalah hak asasi
berpendapat dan hak untuk hidup. Selain itu, kasus marsinah yang tak kunjung
usai ini diakibatkan oleh kurangnya transparansi dan kredibilitas para
penyidik. Seharusnya kredibilitas dan transparansi penyidikan lembaga terhadap
suatu kasus haruslah dijaga oleh para penegak hukum sehingga tercipta keadilan
dan ketentraman masyarakat Indonesia
3. Peristiwa Pembunuhan Munir
Penyebab
10 tahun silam, tepatnya pada 2004, Indonesia
dikejutkan oleh meninggalnya seorang aktivis HAM, Munir Saib Thalib. Kematianya
menimbulkan kegaduhan politik yang menyeret Badan Intelijen Negara (BIN) dan
instituti militer negeri ini. Berdasarkan hasil autopsi, diketahui bahwa
penyebab kematian sang aktivis yang terkesan mendadak adalah karena adanya
kandungan arsenik yang berlebihan di dalam tubuhnya. Munir meninggal ketika
melakukan perjalanan menuju Belanda. Ia berencana melanjutkan studi S2 Hukum di
Universitas Utrecht, Belanda, pada 7 September 2004. Dia menghembuskan nafas
terakhirnya ketika pesawat sedang mengudara di langi Rumania.
Hak
Yang Di Langgar
Hak yang di langgar dalam kasus munir
yaitu karena telah menghilangkan nyawa dengan sengaja atau sudah melanggar hak
untuk hidup. Banyak orang yang terlibat dalam kejadian itu. Orang pertama yang
menjadi tersangka pertama pembunuhan Munir (dan akhirnya terpidana) adalah
Pollycarpus Budihari Priyanto. Selama persidangan, terungkap bahwa pada 7
September 2004, seharusnya Pollycarpus sedang cuti. Lalu ia membuat surat tugas
palsu dan mengikuti penerbangan Munir ke Amsterdam. Aksi pembunuhan Munir
semakin terkuat tatkala Pollycarpus ‘meminta’ Munir agar berpindah tempat duduk
dengannya. Sebelum pembunuhan Munir, Pollycarpus menerima beberapa panggilan
telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior. Dan pada
akhirnya, 20 Desember 2005 Pollycarpus BP dijatuhi vonis 20 tahun hukuman
penjara. Meskipun sampai saat ini, Pollycarpus tidak mengakui dirinya sebagai
pembunuh Munir, berbagai alat bukti dan skenario pemalsuan surat tugas dan
hal-hal yang janggal. Namun, timbul pertanyaan, untuk apa Pollycarpus membunuh
Munir. Apakah dia bermusuhan atau bertengkar dengan Munir. Tidak ada historis
yang menggambarkan hubungan mereka berdua.
Selidik demi selidik, akhirnya
terungkap nomor yang pernah menghubungi Pollycarpus dari agen Intelinjen Senior
adalah seorang mantan petinggi TNI, yakni Mayor Jenderal (Purn) Muchdi
Purwoprandjono. Mayjen (Purn) Muchdi PR pernah menduduki jabatan sebagai
Komandan Koppassus TNI Angkatan Darat yang ditinggali Prabowo Subianto (pendiri
Partai Gerindra). Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Deputi Badan
Intelijen Indonesia
Penyelesaian
Kasus Munir merupakan contoh
lemahnya penegakan HAM di Indonesia. Kasus Munir juga merupakan hasil dari
sisa-sisa pemerintahan orde baru yang saat itu lebih bersifat otoriter.
Seharusnya kasus Munir ini dijadikan suatu pelajaran untuk bangsa ini agar
meninggalkan cara-cara yang bersifat otoriter k arena setiap manusia atau warga
Negara memiliki hak untuk memperoleh kebenaran, hak hidup, hak memperoleh
keadilan, dan hak atas rasa aman. Sedangkan bangsa Indonesia saat ini memiliki
sistem pemerintahan demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi HAM seluruh
masyarakat Indonesia.
4. Peristiwa Tanjung Priok
Kronologi
Abdul Qadir Djaelani adalah salah
seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang
peristiwa Tanjung Priok. Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam
penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit
banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok. Berikut adalah petikan
kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September
1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam
Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.
Tanjung Priok, Sabtu, 8 September
1984
Dua orang petugas Koramil (Babinsa)
tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung
Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok
mushala dengan air got (comberan). Pengumuman tadi hanya berupa undangan
pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang. Tanjung Priok, Ahad, 9
September 1984 Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah
menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk
menawarkan penyelesaan kepada jamaah kaum muslimin. Tanjung Priok, Senin, 10
September 1984 Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan
salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah
pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid
Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta
penengahan ketua RW, diterima. Sementara usaha penegahan sedang.berlangsung,
orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan
permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang
diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan
penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua
Mushala as-Sa’adah.
Tanjung Priok, Selasa, 11 September
1984
Amir Biki menghubungi pihak-pihak
yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh
Kodim, yang diyakininya tidak bersalah. Peran Amir Biki ini tidak perlu
mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang
dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah
antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta
keadilan ternyata sia-sia.
Tanjung Priok, Rabu, 12 September
1984
Dalam suasana tantangan yang
demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah
direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung
juga. Penceramahnya tidak termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubalig dan
memang tidak pernah mau naik mimbar. Akan tetapi, dengan latar belakang
rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk
naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata
antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah.
Kita meminta teman kita yang ditahan
di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang
tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita
menanggung risiko. Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.”
Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau
adayang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita
(yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian
dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Setelah sampai di depan Polres,
kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI
berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan.
Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak,
“Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan
pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu
memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang
berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit.
Jamaah pengajian lalu bergelimpangan
sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada.
Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis.
Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati
ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tidak lama kemudian datanglah dua
buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh
dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan
senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan
bersembunyi di pinggir-pinggir jalan. Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi
berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas
mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat
menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut. Jeritan dan
bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengarjelas oleh
para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.
Setelah itu, truk-truk besar itu
berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang
bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung
goni saja. Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau
orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.
Sesudah mobil truk besar yang penuh
dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah
mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan
membersihkan darah-darah di jalan raya and di sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah
pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kirajarak 15
meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak
meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang
pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki. Begitu jaraknya
kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu
diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang
menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur
menggelepar-gelepar. Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di
belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri,
tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian
jatuh tersungkur menjadi syahid. Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan
mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira
30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot
Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit,
mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara
Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat,
saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan
mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian
jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila
PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha
untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar
kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan
seawal mungkin. Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya
diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat
berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian
tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut
pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas.
Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap
tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984,
kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel
Jaya.
Penyebab
1. Petugas koramil menyiram
pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan)
2. Pembakaran motor anggota koramil oleh orang tidak dikenal yang menyebabkan pihak koramil tidak terima.
2. Pembakaran motor anggota koramil oleh orang tidak dikenal yang menyebabkan pihak koramil tidak terima.
- HaK yang dilanggar
Dibunuhnya jamaah-jamaah pengajian oleh pasukan ABRI
- Penyelesaian
1. Warga
seharusnya tidak melakukan demonstrasi karena bisa berakibat pada kerusuhan.
2. Jika melakukan demonstrasi, seharusnya kedua belah pihak
yaitu ABRI dan warga menahan emosi agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Pelaku pembunuhan (ABRI) wajib diadili dengan seadil-adilnya agar menimbulkan efek jera.
5. Terbunuhnya wartawan udin dari harian umum bernas (1996)
18 tahun lalu, tepatnya tanggal 16
Agustus 1996, wartawan BERNAS Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin meninggal
dunia di RS Bethesda Yogyakarta. Udin meninggal setelah dianiaya orang tidak
dikenal pada 13 Agustus 1996 malam, dirumahnya dusun Samalo Jl Parangtritis KM
13 Patalan Bantul Yogyakarta. Orang tidak dikenal yang berlagak sebagai
tamu itu menghantam kepala Udin dengan sebatang besi satu kali. Namun, walaupun
dengan sekali hantam, ternyata Udin mengalami cidera yang cukup parah pada
kepalanya. Analisa dari berbagai kalangan menyimpulkan bahwa pembunuh Udin
adalah orang terlatih yang paham betul dengan titik-titik mematikan pada
anatomi tubuh seseorang.
Banyak pihak meyakini bahwa kematian
Udin berkaitan dengan berita yang diwartakannya melalui harian BERNAS. Namun
dalam proses selanjutnya, Dwi Sumaji alias Iwik didudukkan sebagai tersangka
pembunuh Udin karena motif asmara atau perselingkuhan. Pengadilan akhirnya
mampu membongkar rekayasa ini, dan Iwik dibebaskan dari segala tuntutan. Namun
hingga saat ini, kasus pembunuhan Udin masih belum dapat diungkap dan menjadi X
File. Bahkan berita yang dilansir Kompas.com tanggal 16 Agustus 2010 kemarin,
menunjukkan adanya niatan sementara pihak yang menghendaki kasus Udin
dinyatakan kedaluwarsa.
Kisah Udin di atas adalah penggalan
perjalanan seorang jurnalis yang mencoba mewartakan kebenaran, dalam rangka
memberikan kontribusi bagi penegakan hukum. Banyak pihak meyakini bahwa
kematian Udin disebabkan berita yang ditulisnya. Coba kita perhatikan kutipan
berita yang dilansir harian Suara Merdeka edisi 13 Agustus 2002 dibawah ini;
|
Kasus Udin
Memo Bupati “Sebelum 17 Ag Sudah
Selesai”
YOGYAKARTA- Penyelidik Polda DIY diharapkan lebih serius lagi
mengungkap kasus tewasnya wartawan harian Bernas Fuad M Syafrudin
alias Udin. Keinginan itu muncul dalam diskusi bertajuk “Evaluasi 6 Tahun
Kasus Udin” di LBH Yogyakarta, kemarin.
Dalam diskusi itu juga terungkap
temuan Tim Pencari Fakta (TPF) PWI tentang memo Bupati Bantul (waktu itu) Sri
Roso Sudarmo yang menuliskan, “Sebelum 17 Ag (Agustus-Red) sudah selesai”.
Mantan hakim PN Bantul Sahlan Said
SH yang kini hakim di PN Magelang, Jawa Tengah, mengatakan dalam menangani
kasus tindak pidana terhadap Udin seharusnya penyidik mengawali penyidikan
dengan motivasi terjadinya tindak pidana.
“Mengapa waktu itu penyidik
demikian bersikukuh bahwa Dwi Sumaji alias Iwik tersangka pelakunya
berdasarkan latar belakang perselingkuhan. Padahal waktu itu Tim Pencari
Fakta (TPF) yang dibentuk PWI dan masyarakat luas meyakini penganiayaan
terjadi akibat pemberitaan yang dibuat Udin. Khususnya menyangkut kinerja
Pemda Bantul yang dipimpin Bupati Sri Roso Sudarmo,” papar dia.
Dia mengatakan, dari beberapa kali
rapat diketahui adanya keinginan kuat Bupati Sri Roso Sudarmo untuk menghukum
Udin dan Bernas. Pernyataan Sahlan didukung temuan TPF PWI tentang
adanya nota/memo Bupati. Isinya, “Sebelum 17 Ag (Agustus-Red) sudah selesai”.
Pada surat nomor 411.2/748 tanggal
26/7/1996 dari Camat Imogiri Bantul juga ada memo lain dari Bagian Hukum.
Isinya, “Segera sebelum 17 Agust”.
Surat tersebut berisi penjelasan
Camat Imogiri Hardi Purnomo BA tentang dana Inpres Desa Tertinggal (IDT)
sehubungan dengan berita dugaan adanya penyelewengan dana yang dibuat Udin
pada hari yang sama.
Sebelumnya Udin secara sendirian
dan bersama wartawan Bernas lain membuat banyak berita yang diyakini
“menyakitkan” jajaran Pemkab Bantul, terutama Bupati, antara lain tentang
sumbangan Rp 1 miliar jika Sri Roso terpilih untuk periode jabatan kedua.
|
Tetapi keyakinan banyak pihak bahwa
motif pembunuhan Udin bukanlah dikarenakan factor perselingkuhan, diabaikan
begitu saja oleh pihak penyidik. Bahkan entah dengan motif apa penyidik malah
membuat scenario dengan mendudukkan Iwik sebagai tersangka. Dan yang memalukan,
scenario penyidik ini, tidak dapat dibuktikan kebenarannya di sidang
pengadilan. Hal ini semakin meningkatkan kecurigaan masyarakat bahwa telah
terjadi rekayasa dalam penanganan kasus ini yang dilakukan oleh pihak penyidik
demi melindungi kepentingan orang tertentu.
Pembunuhan, ancaman dan terror
kepada jurnalis memang tidak hanya dialami Udin. Tetapi kasus Udin menjadi
menarik karena tidak ada “niatan” dari aparat penegak hukum untuk mengungkap
kasus ini. Bahkan wacana untuk menutup kasus ini, belakangan semakin gencar
berhembus.
Berbeda dengan kasus pembunuhan
wartawan Jawa Pos Gde Prabangsa di Bali. Dia juga dibunuh karena mengungkap
berbagai penyimpangan dan korupsi di suatu Kabupaten di Bali. Namun aparat
penegak hukum mampu mengungkap kasus ini dan menunjukkan bukti bahwa dia
dibunuh oleh kerabat bupati yang bersangkutan.
Sungguh suatu harga yang sangat
mahal dalam upaya mencari celah dalam ruang komunikasi yang pengap untuk dapat
mewartakan kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar