Jumat, 18 Desember 2015

4 (Empat) Nasehat Untuk Suami



Syaikh Fuad Shalih dalam bukunya Liman Yuriidu Az Ziwaaj wa Tazawuj menyampaikan empat nasihat Rasulullah SAW untuk para suami. Termasuk mengenai tugas cuci pakaian.

Syaikh Fuad merasa perlu mencantumkan hadits ini agar para suami berbenah diri; tidak hanya menuntut istri mempersembahkan yang terbaik bagi dirinya, tetapi juga ia mempersembahkan yang terbaik untuk istrinya.
Empat nasihat ini secara khusus mengajarkan suami untuk berpenampilan menarik di rumah.

Berikut ini, empat nasihat itu: 

1.      Cucilah Bajumu
Nasehat pertama ini memiliki dua dimensi. Dimensi pertama ada pada proses. Dimensi kedua terletak pada hasilnya.

Sebagai sebuah proses, “cucilah bajumu” berarti berbagi dengan istri dalam menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan domestik, khususnya bagi keluarga yang tidak memiliki khadimat.

Mencuci baju tidak dibebankan kepada istri saja, melainkan suami juga melakukannya. Baik mencuci dengan tangan maupun dengan mesin cuci.

Konsep berbagi peran inilah yang diteladankan oleh Rasulullah. Kendati beliau adalah Nabi, pemimpin negara, qiyadah dakwah dan panglima perang, beliau menyempatkan diri untuk membantu istri-istrinya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga

Ditinjau dari dimensi hasil, “cucilah bajumu” membuat suami tampil dengan pakaian rapi di depan istrinya. Tidak kusut. Tidak menyebalkan.

Mungkin sebagian suami tidak merasa perlu tampil rapi di hadapan suaminya, terlebih ketika malam tiba. Namun, jika ia menuntut istrinya tampil prima di depannya, mengapa ia tidak menuntut dirinya melakukan hal yang sama?

Bukankah Islam menjunjung keadilan? Kita para suami kadang belum juga mengerti bahwa wanita itu tidak selalu mencurahkan perasaannya kepada suami.

Ia kadang menyimpannya di hati dan berusaha menyabarkan diri. Saat kita para suami dengan mudah mengatakan “Pakaialah baju yang indah”, para istri hanya menahan sabar melihat kita menghampirinya dengan baju berbau.
Mari kita berusaha berubah. Menjadi suami yang lebih rapi di depan istri.

2.      Rapikan rambutmu
Ketika berangkat kerja, ketika pergi ke kantor, ketika hendak syuro, ketika mau mengisi pengajian, kita para lelaki yang katanya tidak suka dandan, minimal merapikan rambut.

Lalu saat hanya berdua dengan istri, mengapa kita tidak melakukan hal serupa? Bukankah jika begitu kita lebih mengutamakan orang lain daripada istri kita sendiri? Padahal rekan-rekan kerjanya tidak memasakkannya.

Teman-temannya juga tak bisa merawatnya ketika ia sakit. Yang setia menemani, yang setia merawat adalah istri. Dan tidak ada orang lain yang bisa menghangatkannya di kala kedinginan kecuali istrinya sendiri. Lalu mengapa kita sebagai suami justru tak bisa tampil rapi saat bersamanya?

3.      Gosoklah gigimu
Bau mulut adalah satu hal yang mengganggu komunikasi dan menjadi pembatas kedekatan. Ketika seorang suami tak suka istrinya mengeluarkan bau saat ia berbicara, demikian pula istri sebenarnya tak suka jika suaminya menghampirinya dengan bau yang tak sedap.

Adalah junjungan kita yang mulia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, setiap akan masuk rumah, beliau bersiwak terlebih dahulu.
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Bunda Aisyah menjadi saksi kebiasaan Rasulullah ini. Ketika ditanya, “Apa yang dilakukan pertama kali oleh Rasulullah jika dia memasuki rumahnya?” Beliau menjawab: ”Bersiwak”.

Maka sungguh nasehat ini harus dikerjakan oleh para suami. Hendaklah ia rajin bersiwak atau menggosok giginya.

Jika berduaan dengan istri, pastikan sudah gosok gigi. Pastikan tak ada bau yang mengganggu. Hingga curhat pun menjadi mengasyikkan. Hingga berduaan pun jadi penuh kemesraan.

Dan lebih dari itu, menggosok gigi atau bersiwak mendatangkan dua kebaikan. Kebersihan dan kesehatan mulut, serta mendatangkan keridhaan Tuhan. “Bersiwak itu membersihkan mulut dan membuat Tuhan ridha” (HR. Al Baihaqi dan An Nasa’i).

4.      Berhiaslah untuk istrimu
Para sahabat Nabi adalah suami-suami yang terdepan dalam mengamalkan nasehat ini. Ibnu Abbas mengatakan, “Aku suka berhias untuk istriku sebagaimana aku suka istriku berhias untukku.”
Mengapa demikian, karena Ibnu Abbas yakin, “Sesungguhnya berhiasnya suami di hadapan istrinya akan membantu istri menundukkan pandangannya dari melihat laki-laki selain suaminya. Berhiasnya suami di hadapan istrinya juga makin mendekatkan hati keduanya.”

Jika para sahabat yang sibuk berdakwah dan berjihad tidak lalai berhias untuk istrinya, bagaimana dengan kita? Semoga bisa meneladani mereka.

Sabtu, 28 November 2015

ABU THALHAH AN-ANSHARI



ABU THALHAH AN-ANSHARI - MAHARNYA IALAH MASUK ISLAM Zaid bin Sahal an-Najjary alias Abu Thalhah mengetahui Bahwa perempuan bernama Rumaisha" binti Milhan an-Najjariyah, alias Ummu Sulaim, hidup menjanda sejak suaminya meninggal. Abu Thalhah sangat gembira mengetahui Ummu Sulaim merupakan perempuan baik-baik, cerdas, dan memiliki sifat-sifat perempuan yang sempurna.
Abu Thalhah bertekad hendak melamar Ummu Sulaim segera, sebelum laki-laki lain mendahuluinya. Karena, Abu Thalhah tahu, banyak laki-laki lain yang menginginkan Ummu Sulaim menjadi istrinya.
Kisah Sahabat Nabi Masuk Islam
Namun begitu, Abu Thalhah percaya tidak seorang pun laki-laki lain yang akan berkenan di hati Ummu Sulaim selain Abu Thalhah sendiri. Abu Thalhah laki-laki sempurna, menduduki status sosial tinggi, dan kaya raya.
Di samping itu, dia terkenal sebagai penunggang kuda yang cekatan di kalangan Bani Najjar, dan pemanah jitu dari Yatsrib yang harus diperhitungkan.Abu Thalhah pergi ke rumah Ummu Sulaim. Dalam perjalan ia ingat, Ummu Sulaim pernah mendengar dakwah seorang dai yang datang dari Mekah, Mush'ab bin Umair. Lalu, Ummu Sulaim beriman dengan Muhammad dan menganut agama Islam.
Tetapi, setelah berpikir demikian, dia berkata kepada dirinya, "Hal ini tidak menjadi halangan. Bukankah suaminya yang meninggal menganut agama nenek moyangnya? Bahkan, suaminya itu menentang Muhammad dan dakwahnya".Abu Thalhah tiba di rumah Ummu Sulaim. Dia minta izin untuk masuk, maka diizinkan oleh Ummu Sulaim. Putra Ummu Sulaim, Anas, hadir dalam pertemuan mereka itu. Abu Thalhah menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu hendak melamar Ummu Sulaim menjadi istrinya.
Ternyata Ummu Sulaim menolak lamaran Abu Thalhah.Kata Ummu Sulaim, "Sesungguhnya laki-laki seperti Anda, wahai Abu Thalhah, tidak pantas saya tolak lamarannya. Tetapi aku tidak akan kawin dengan Anda, karena Anda kafir."Abu Thalhah mengira Ummu Sulaim hanya sekedar mencari-cari alasan. Mungkin di hati Ummu Sulaim telah berkenan laki-laki lain yang lebih kaya dan lebih mulia daripadanya.
Kata Abu Thalhah , "Demi Allah! Apakah yang sesungguhnyayang menghalangi engkau untuk menerima lamaranku, hai Ummu Sulaim?"Jawab Ummu Sulaim, "Tidak ada, selain itu."Tanya Abu Thalhah, "Apakah yang kuning ataukah yang putih..? Emas atau perak?"Ummu Sulaim balik bertanya, "Emas atau perak..?""Ya, emas atau perak?" jawab Abu Thalhah menegaskan.Kata Ummu Sulaim, "Kusaksikan kepada Anda, hai Abu Thalhah, kusaksikan kepada Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya jika engkau Islam, aku rela Anda menjadi suamiku tanpa emas dan perak, cukuplah emas itu menjadi mahar bagiku."Mendengar ucapan dari Ummu Sulaim tersebut, Abu Thalhah teringat akan patung sembahannya yang terbuat dari kayu bagus dan mahal.

Patung itu khusus dibuatnya untuk pribadinya, seperti kebiasaan bangan-bangan kaumnya, Bani Najjar.Ummu Sulaim telah bertekad hendak menempa besi itu selagi masih panas (mengislamkan Abu Talhah). Sementara Abu Thalhah terbengong-bengong melihat berhala sesembahannya, Ummu Sulaim melanjutkan bicaranya, "Tidak tahukah Anda, wahai Abu Thalhah, patung yang Anda sembah itu terbuat dari kayu yang tumbuh di bumi?" Tanya Ummu Sulaim."Ya, Betul!" jawab Abu Thalhah."Apakah Anda tidak malu menyembah sepotong kayu menjadi Tuhan, sementara potongannya yang lain Anda jadikan kayu api untuk memasak? Jika Anda masuk Islam, hai Abu Thalhah, aku rela engkau menjadi suamiku.
Aku tidak akan meminta mahar darimu selain itu," kata Ummu Sulaim."Siapakah yang harus mengislamkanku?" Tanya Abu Thalhah."Aku bisa," jawab Ummu Sulaim."Bagaimana caranya?" tanya Abu Thalhah."Tidak sulit. Ucapkan saja kalimat syahadah! Saksikan tidak ada ilah yang haq selain Allah dan sesungguhnya Muhammad Rasulullah. Sesudah itu pulang ke rumahmu, hancurkan berhala sembahanmu, lalu buang!" kata Ummu Sulaim menjelaskan.Abu Thalhah tampak gembira.
Lalu, dia mengucapkan dua kalimat syahadah. Sesudah itu Abu Thalhah menikah dengan Ummu Sulaim. Mendengar kabar Abu Thalhah menikah dengan Ummu Sulaim dengan maharnya Islam, maka kaum muslimin berkata, "Belum pernah kami mendengar mahar kawin yang lebih mahal daripada mahar kawin Ummu Sulaim. Maharnya ialah masuk Islam".Sejak hari itu Abu Thalhah berada di bawah naungan bendera Islam. Segala daya yang ada padanya dikorbankan untuk berkhidmat kepada Islam.Abu Thalhah dan istrinya, Ummu Sulaim, termasuk kelompok tujuh puluh yang bersumpah setia (baiat) dengan Rasulullah di Aqabah.
Abu Thalhah ditunjuk Rasulullah menjadi kepala salah satu regu dari dua belas regu yang dibentuk malam itu atas perintah Rasulullah untuk mengislamkan Yatsrib.Dia ikut berperang bersama Rasulullah dalam setiap peperangan yang dipimpin beliau. Dalam peperangan itu, tidak urung pula Abu Thalhah mendapatkan cobaan-cobaan yang mulia. Tetapi, cobaan yang paling besar diderita Abu Thalhah ialah ketika berperang bersama Rasulullah dalam Perang Uhud.

Dengarkanlah kisahnya!Abu Thalhah mencintai Rasulullah sepenuh hati, sehingga perasaan cintanya itu mengalir ke segenap pembuluh darahnya. Dia tidak pernah merasa jemu melihat wajah yang mulia itu, dan tidak pernah merasa bosan mendengar hadits-hadits beliau yang selalu terasa manis baginya. Apabila Rasulullah berdua saja dengannya, dia bersimpuh di hadapan beliau sambil berkata, "Inilah dariku, kujadikan tebusan bagi diri Anda dan wajahku pengganti wajah Anda."Ketika terjadi Perang Uhud, barisan kaum muslimin terpecah-belah. Mereka lari kocar-kacir dari samping Rasulullah .
Oleh karena itu, kaum musyrikin sempat menerobos pertahanan mereka sampai ke dekat beliau. Musuh berhasil menciderai beliau, mematahkan gigi, melukai dahi, dan bibir beliau, sehingga darah mengalir membasahi mukanya. Lalu kaum musyrikin menyiarkan isu Rasulullah telah wafat.Mendengar teriakan itu, kaum muslimin menjadi kecut, lalu lari porak-poranda memberikan punggung mereka kepada musuh-musuh Allah. Hanya beberapa orang saja tentara muslimin yang tinggal mengawal dan melindungi Rasulullah. Di antara mereka adalah Abu Thalhah yang berdiri paling depan.Abu Thalhah berada di hadapan Rasulullah bagaikan sebuah bukit berdiri dengan kokohnya melindungi beliau.
Rasulullah berdiri di belakangnya, terlindung dari panah dan lembing musuh oleh tubuh Abu Thalhah. Abu Thalhah menarik tali panahnya, kemudian melepaskan tali anak panah tepat mengenai sasaran tanpa pernah gagal. Dia memanah musuh satu demi satu. Tiba-tiba Rasulullah mendongakkan kepala melihat siapa sasaran panah Abu Thalhah.Abu Thalhah mundur menghampiri beliau, karena khawatir beliau terkena panah musuh. "Demi Allah, janganlah Rasulullah mendongakkan kepala melihat mereka, nanti terkena panah mereka. Biarkan leher dan dadaku sejajar dengan leher dan dada Rasulullah.
Jadikan aku menjadi perisai Anda," ujarnya mantap.Seorang prajurit muslim tiba-tiba lari ke dekat Rasulullah sambil membawa kantong anak panah. Rasulullah memanggil prajurit itu. Kata beliau, "Berikan anak panahmu kepada Abu Thalhah. Jangan dibawa lari!" Abu Thalhah senantiasa melindungi Rasulullah sehingga tiga batang busur panah patah olehnya, dan sejumlah prajurit musyrikin tewas dipanahnya.Allah menyelamatkan dan memelihara Nabi-Nya yang selalu berada dibawah pengawasan-Nya sampai pertemuan usai.Abu Thalhah sangat pemurah dengan nyawanya berperang fi sabilillah, namun lebih pemurah lagi mengorbankan hartanya untuk agama Allah. Abu Thalhah mempunyai sebidang kebun kurma dan anggur yang amat luas.

Tidak ada kebun di Yatsrib seluas dan sebagus kebun Abu Thalhah. Pohon-pohonnya rimbun, buah-buahnya subur, dan airnya manis.Pada suatu hari ketika Abu Thalhah shalat di bawah naungan sebatang nan rindang, pikirannya terganggu oleh siulan burung berwarna hijau, berparuh merah, dan kedua kakinya indah berwarna. Burung itu melompat dari dahan ke dahan dengan suka citanya, bersiul-siul dan menari-nari. Abu Thalhah kagum melihat burung itu. Dia membaca tasbih, tetapi pikirannya tidak lepas dari burung itu.Ketika menyadari bahwa ia sedang shalat, dia lupa sudah berapa rakaat shalatnya.
Dua atau tiga rakaatkah dia tak ingat. Selesai shalat dia pergi menemui Rasulullah dan menceritakan kepada beliau peristiwa yang baru dialaminya dalam shalatnya. Diceritakannya pula kepada beliau pohon-pohon nan rindang dan burung yang bersiul sambil menari-nari ketika dia sedang shalat.Kemudian katanya, "Saksikan wahai Rasulullah! Kebun itu aku sedekahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pergunakanlah sesuai kehendak Allah dan Rasul-Nya."Abu Thalhah sering berpuasa dan berperang sepanjang hidupnya.
Bahkan, dia meninggal ketika sedang berpuasa dan berperang fi sabilillah.Pada zaman khalifah Utsman bin Affan, kaum muslimin bertekad hendak berperang di lautan. Abu Thalhah bersiap-siap untuk turut dalam peperangan itu bersama-sama dengan tentara muslimin.Kata anak-anaknya, "Wahai Bapak kami!" Bapak sudah tua. Bapak sudah turut berperang bersama-sama Rasulullah , Abu Bakar, dan Umar bin Khaththab. Kini Bapak harus beristirahat. Biarlah kami berperang untuk Bapak."Jawab Abu Thalhah, "Bukankah Allah Azza wa Jalla telah berfirman, yang artinya, "Berangkatlah kamu dalam keadaan senang dan susah, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu menyadari." (At-Taubah: 41).
Firman Allah itu memerintahkan kita semua, baik tua maupun muda. Allah tidak membatasi usia kita untuk berperang."Abu Thalhah menolak permintaan anak-anaknya untuk tinggal di rumah, dan bersikeras untuk ikut berperang.Ketika Abu Talhah yang sudah lanjut usia itu berada di atas kapal bersama-sama dengan tentara muslimin di tengah lautan, dia jatuh sakit, lalu meninggal di kapal. Kaum muslimin melihat-lihat daratan, mencari tempat memakamkan Abu Thalhah. Tetapi, enam hari setelah wafatnya, barulah mereka bertemu dengan daratan. Selama itu jenazah Abu Thalhah disemayamkan di tengah-tengah mereka di atas kapal tanpa berubah sedikit pun jua. Bahkan, dia layaknya seperti orang yang tidur nyenyak saja.


Kisah Sahabat Nabi Yang Buta



Kisah Sahabat Nabi Yang Buta YA, RASULULLAH! SEANDAINYA SAYA TIDAK BUTA, TENTU SAYA PERGI BERPERANG Abdullah bin Umar bin Syuraikh, seorang sahabat asal Quraisy ini termasuk peserta hijrah ke Madinah rombongan pertama. Beliau sampai di Madinah sebelum kedatangan Rasulullah Shalalahu 'alaihi Wassalam. Beliau meninggal dalam peperangan Qadisiah membawahi sebuah brigade.Abdullah bin Ummi Maktum, orang mekah suku Quraisy. Dia mempunyai ikatan keluarga dengan Rasululah Shalalahu 'alaihi Wassalam. Yaitu anak paman Ummul Mu'minin Khadijah binti Khuwailid Ridhwanullah 'Alaiha.

Kisah Sahabat Nabi Yang Buta

Bapaknya Qais bin Zaid, dan ibunya 'Atikah binti 'Abdullah. Ibunya bergelar "Umi Maktum" karena anaknya 'Abdullah lahir dalam keadaan buta total.Abdullah bin Ummi Maktum menyaksikan ketika cahaya Islam mulai memancar di Makkah. Allah melapangkan dadanya menerima agama baru itu. Karena itu tidak diragukan lagi dia termasuk kelompok yang pertama-tama masuk Islam. Sebagai muslim kelompok pertama, 'Abdullah turut menanggung segala macam suka duka kaum muslimin di Makkah ketika itu.

Dia turut menderita siksaan kaum Quraisy seperti diderita kawan-kawannya seagama, berupa penganiayaan dan berbagai macam tindakan kekerasan lainnya. Tetapi apakah karena tindakan-tindakan kekerasan itu Ibnu ummi Maktum menyerah? Tidak....! Dia tidak pernah mundur dan tidak lemah iman. Bahkan dia semakin teguh berpegang pada ajaran Islam dan Kitabullah. Dia semakin rajin mempelajari syariat Islam dan sering mendatangi majelis Rasulullah.Begitu rajin dia mendatangi majelis Rasulullah, menyimak dan menghafal Al-Qur'an, sehingga setiap waktu senggang selalu disinya, dan setiap kesempatan yang baik selalu disebutnya. Bahkan dia sangat rewel.

Karena rewelnya, dia beruntung memperoleh apa yang diinginkannya dari Rasulullah, di samping keuntungan bagi yang lain-lain juga.Pada masa permulaan tersebut, Rasulullah sering mengadakan dialog dengan pemimpin-pemimpin Quraisy, mengharapkan semoga mereka masuk Islam. Pada suatu hari beliau bertatap muka dengan 'Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, 'Amr bin Hisyam alias Abu Jahl, Umayyah bin Khalaf dan walid bin Mughirah, ayah saifullah Khalid bin walid.Rasulullah berunding dan bertukar pikiran dengan mereka tentang Islam. Beliau sangat ingin mereka menerima dakwah dan menghentikan penganiayaan terhadap para sahabat beliau.

Sementara beliau berunding dengan sungguh-sungguh, tiba-tiba 'Abdullah bin Ummi maktum datang mengganggu minta dibacakan kepadanya ayat-ayat Al-Qur'an.Kata 'Abdullah, "Ya, Rasulullah! Ajarkanlah kepadaku ayat-ayat yang telah diajarkan Allah kepada Anda!"Rasul yang mulia terlengah memperdulikan permintaan 'Abdullah. Bahkan beliau agak acuh kepada interupsinya itu. Lalu beliau membelakangi 'Abdullah dan melanjutkan pembicaraan dengan pemimpin Quraisy tersebut. Mudah-mudahan dengan Islamnya mereka, Islam tambah kuat dan dakwah bertambah lancar.Selesai berbicara dengan mereka, Rasulullah bermaksud hendak pulang. Tetapi tiba tiba penglihatan beliau gelap dan kepala beliau terasa sakit seperti kena pukul.

Kemudian Allah mewahyukan firman-Nya kepada beliau: "Dia ( Muhammad ) bermuka masam dan berpaling, karena seorang buta datang kepadanya, Tahukah kamu, barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau mereka tidak membersihkan diri (beriman). Adapun orang yang datang kepadamu dengan bergegas (untuk mendapatkan pengajaran), sedangkan ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya.

Sekali-kali jangan (begitu)! Sesungguhnya ajaran Allah itu suatu peringatan. Maka siapa yanag menghendaki tentulah ia memperhatikannya. (Ajaran ajaran itu) terdapat di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para utusan yang mulia lagi (senantiasa) berbakti." (QS. 'Abasa : 1 - 16).Enam belas ayat itulah yang disampaikan Jibril Al-Amin ke dalam hati Rasulullah sehubungan dengan peristiwa 'Abdullah bin Ummi maktum, yang senantiasa dibaca sejak diturunkan sampai sekarang, dan akan terus dibaca sampai hari kiamat.Sejak hari itu Rasulullah tidak lupa memberikan tempat yang mulia bagi 'Abdullah apabila dia datang. Beliau menyilahkan duduk ditempat duduk beliau.

Beliau tanyakan keadaannya dan beliau penuhi kebutuhannya. Tidaklah heran kalau beliau memuliakan 'Abdullah demikian rupa; bukankah teguran dari langit itu sangat keras!Tatkala tekanan dan penganiayaan kaum Quraisy terhadap kaum muslimin semakin berat dan menjadi-jadi, Allah Ta'ala mengizinkan kaum muslimin dan Rasul-Nya hijrah. 'Abdullah bin Ummi maktum bergegas meninggalkan tumpah-darahnya untuk menyelamatkan agamanya. Dia bersama sama Mush'ab bin Umar sahabat-sahabat Rasul yang pertama-tama tiba di Madinah, setibanya di Yatsrib (Madinah), 'Abdullah dan Mush'ab segera berdakwah, membacakan ayat-ayat Al-Qur'an dan mengajarkan pengajaran Isalam.

Setelah Rasulullah tiba di Madinah, beliau mengangkat 'Abdullah bin Ummi Maktum serta Bilal bin rabah menjadi Muadzin Rasulullah. Mereka berdua bertugas meneriakkan kalimah tauhid lima kali sehari semalam, mengajak orang banyak beramal saleh dan mendorong masyarakat merebut kemenangan. Apabila Bilal adzan, maka 'Abdullah qamat. Dan bila 'Abdullah adzan, maka Bilal qamat.Dalam bulan Ramadhan tugas mereka bertambah.

Bilal adzan tengah malam membangunkan kaum muslimin untuk sahur, dan 'Abdullah adzan ketika fajar menyingsing, memberi tahu kaum muslimin waktu imsak sudah masuk, agar menghentikan makam minum dan segala yang membatalkan puasa.Untuk memuliakan 'Abdullah bin Ummi maktum, beberapa kali Rasulullah mengangkatnya menjadi Wali Kota Madinah menggantikan beliau, apabila meninggalkan kota. Tujuh belas kali jabatan tersebut dipercayakan beliau kepada 'Abdullah.

Salah satu diantaranya, ketika meninggalkan kota Madinah untuk membebaskan kota Makkah dari kekuasaan kaum musyrikin Quraisy.Setelah perang Badar, Allah menurunkan ayat-ayat Al-Qur'an, mengangkat derajat kaum muslimin yang pergi berperang fi sabilillah. Allah melebihkan derajat mereka yang pergi berperang atas orang-orang yang tidak pergi berperang, dan mencela orang yang tidak pergi karena ingin bersantai-santai. Ayat-ayat tersebut sangat berkesan di hati 'Abdullah bin Ummi Maktum. Tetapi baginya sukar mendapatkan kemuliaan tersebut karena dia buta.

Lalu dia berkata kepada Rasulullah, "Ya, Rasulullah! Seandainya saya tidak buta, tentu saya pergi berperang."Kemudian dia bermohon kepada Allah dengan hati penuh tunduk, semoga Allah menurunkan pula ayat-ayat mengenai orang-orang yang keadaannnya cacat (udzur) seperti dia, tetapi hati mereka ingin sekali hendak turut berperang. Dia senantiasa berdoa dengan segala kerendahan hati. Katanya, "Wahai Allah! Turunkanlah wahyu mengenai orang-orang yang udzur sepertiku!" Tidak berapa lama kemudian Allah memperkenankan doanya.

Zaid bin Tsabit, sekretaris Rasulullah yang bertugas menuliskan wahyu menceritakan, "aku duduk di samping Rasulullah. Tiba tiba beliau diam, sedangkan paha beliau terletak di atas pahaku. Aku belum pernah merasakan beban yang paling berat melebihi berat paha Rasulullah ketika itu. Sesudah beban berat yang menekan pahaku hilang, beliau bersabda, "Tulislah, hai Zaid!"Lalu aku menuliskan, "Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang) dengan pejuang-pejuang yang berjihad fi sabilillah..." (An-Nisaa : 95).

Ibnu Ummi berdiri seraya berkata, "Ya Rasulullah! Bagaimana dengan orang-orang yang tidak sanggup pergi berjihad (berperang karena cacat)?"Selesai pertanyaan 'Abdullah, Rasulullah berdiam dan paha beliau menekan pahaku, seolah-olah aku menanggung beban berat seperti tadi. Setelah beban berat itu hilang, Rasulullah berkata, "Coba baca kembali yang telah engkau tulis!"Aku membaca , "Tidak sama orang-orang mukmin yang duduk (tidak turut berperang)." lalu kata beliau. Tulis! "Kecuali bagi orang-orang yang tidak mampu." Maka turunlah pengecualian yang diharap-harapkan Ibnu Ummi Maktum.

Meskipun Allah telah memaafkan Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang udzur seperti dia untuk tidak berjihad, namun dia enggan bersantai-santai beserta orang-orang yang tidak turut berperang. Dia tetap membulatkan tekat untuk turut berperang fi sabilillah. Tekad itu timbul dalam dirinya, karena jiwa yang besar tidak dapat dikatakan besar, kecuali bila orang itu memikul pula pekerjaan besar. Maka karena itu dia sangat gandrung untuk turut berperang dan menetapkan sendiri tugasnya di medan perang.Katanya, "Tempatkan saya antara dua barisan sebagai pembawa bendera.

Saya akan memeganya erat-erat untuk kalian. Saya buta, karena itu saya pasti tidak akan lari." Tahun keempat belas Hijriyah, Khalifah 'Umar bin Khaththab memutuskan akan memasuki Persia dengan perang yang menentukan, untuk menggulingkan pemerintahan yang zalim, dan menggantinya dengan pemerintahan Islam yang demokratis dan bertauhid. 'Umar memerintahkan kepada segenap Gubernur dan pembesar dalam pemerintahannya, 'Jangan ada seorang jua pun yang ketinggalan dari orang orang bersenjata, orang yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau yang berpikiran tajam, melainkan hadapkan semuanya kepada saya sesegera mungkin!"Maka berkumpulah di Madinah kaum Muslimin dari segala penjuru, memenuhi panggilan Khalifah 'Umar.

Di antara mereka itu terdapat seorang prajurit buta, 'Abdullah bin Ummi maktum. Khalifah 'Umar mengangkat Sa'ad bin Abi Waqash menjadi panglima pasukan yang besar itu. Kemudian Khalifah memberikan intruksi-intruksi dan pengarahan kepada Sa'ad.Setelah pasukan besar itu sampai di Qadisiyah. 'Abdullah bin Ummi maktum memakai baju besi dan perlengkapan yang sempurna.

Dia tampil sebagai pembawa bendera kaum muslimin dan berjanji akan senantiasa mengibarkannya atau mati di samping bendera itu.Pada hari ke tiga perang Qadisiyah, perang berkecamuk dengan hebat, yang belum pernah disaksikan sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan perang tersebut dengan kemenangan paling besar yang belum pernah direbutnya. Maka pindahlah kekuasaan kerajaan Persia yang besar ke tangan kaum muslimin. Dan runtuhlah mahligai yang termegah, dan berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala itu.Kemenangan yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan jiwa ratusan syuhada. Diantara mereka yang syahid itu terdapat 'Abdullah bin Ummi Maktum yang buta. Dia ditemukan terkapar di medan tempur berlumuran darah syahidnya, sambil memeluk bendera kaum muslimin.